Sabtu, 18 April 2015

"Sejarah Nasional Indonesia adalah Sejarah Islam"

Sudah menjadi permakluman bersama di manapun sebuah pengajaran “Sejarah Nasional”, termasuk di dalamnya di Indonesia ditujukan untuk meyakinkan warga di negara bersangkutan bahwa negara yang tengah menjadi tempat hidupnya sekarang adalah negara sah dan layak untuk diberi dukungan sepenuhnya. Pembelaan dan dukungan terhadap negara adalah atau yang umum disebut “nasionalisme” adalah buah yang ingin diperoleh dari pengajaran sejarah.

Di Indonesia keinginan ini terlihat dalam kurikulum pengajaran sejarah sejak pelajaran sejarah Indonesia ditetapkan sekitar tahun 1950-an. Terakhir, dalam standar isi pelajaran yang diterbitkan BNSPI (Badan Nasional Standarisasi Pendidikan Indonesia) melalui Kepmen No. 22 tahun 2006 disebutkan tujuan pengajaran sejarah antara lain untuk: menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan masih berproses hingga masa kini dan masa yang akan datang; dan menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan baik nasional maupun internasional. (tujuan pelajaran sejarah untuk SMA no. 4 dan 5).

Tujuan seperti di atas memang wajar dikehendaki oleh suatu negara, termasuk di Indonesia. Akan tetapi, dalam kasus Indonesia, yang menjadi persoalan justru pada perumusan apa yang dimaksud dengan “Indonesia”. Isi pelajaran sejarah Indonesia yang semestinya menjadi dapat menjawab pertanyaan tersebut selama ini ternyata gagal memberikan makna ke-Indonesia-an bagi seluruh warga bangsa. Makna “Indonesia” yang diciptakan dalam buku-buku pelajaran sejarah justru malah mengesankan permusuhan bagi sebagian kelompok di negeri ini.

Contoh yang paling nyata adalah mengenai peran Islam dan umat Islam dalam pembentukan Indonesia. Dalam standar kompetensi dan komptensi dasar yang dibuat BNSPI di atas mengenai peran Islam hanya dibahas di kelas XI Semester 1 sub bagian 1.3 dan 1.4 setelah penjelasan mengenai Hindu-Budha pada sub-bagian 1.1 dan 1.2. Pembahasannya di bawah bagian yang menjelaskan analisis mengenai perjalanan bangsa Indonesia pada masa negara-negara tradisional.

Secara atraktif pada kelas XI Semester 2 dibahas secara panjang lebar mengenai pengaruh Barat dan sejarah dunia pada perkembangan Indonesia. Selanjutnya pada kelas XII semester 1 dan 2, peristiwa-peristiwa yang diceritakan dibingkai dengan pengaruh Barat yang diceritakan sebelumnya. Tidak terlalu banyak disinggung mengenai peran Islam dan umat Islam, baik pada periode kolonial, kebangkitan nasional, perjuangan kemerdekaan, dan bahkan ketika perumusan konstitusi pada zaman pra-Orde Baru yang sangat warna kental pertentangan ideologi agamanya (baca: Islam vs nasionalis-sekuler).

Setting kurikulum semacam ini seolah ingin mengisyaratkan bahwa setelah era kerajaan-kerajaan Islam yang disebut sebagai kekuasaan tradisional, sudah tidak ada lagi kisah tentang “Islam”. Kalaupun beberapa organisasi Islam diselip-selipkan dalam kisah seperti keberadaan Sarekat Islam, Masyumi, Muhammadiyah, NU, dan PPP sama sekali tidak ditunjukkan peran “Islam” di dalamnya. Seolah-olah, keberadaan organisasi-organisasi Islam ini hanya menjadi pelengkap penderita dalam Indonesia baru yang dimenangkan oleh kaum nasionalis-sekuler, baik secara politik maupun kebudayaan; atau sekalipun mereka Muslim, tetapi mereka sudah setuju dengan Indonesia yang sekuler!
Kesan seperti ini terlampau telanjang saat kurikulum sejarah produk tahun 2006 ini. Perhatikan saja bagaimana momen-momen dalam pembentukan Indonesia diabaikan tanpa makna seperti terumuskannya Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan perdebatan 18 Agustus 1945 yang akhirnya melahirkan Pancasila sebagai dasar negara. Kurikulum kita seolah sengaja mengubur ingatan bahwa perdebatan yang muncul saat Indonesia hendak berdiri adalah perdebatan yang didorong oleh pemikiran keagamaan, dalam hal ini Islam. Bagaimana akhirnya kompromi dicapai justru bukan antara kelompok sekuler vs sekuler, melainkan antara kelompok sekuler vs kelompok Islam. Bahkan bila ditelisik, kompromi ini mengarah kepada diakomodasinya kepentingan umat Islam secara luas seperti tercermin dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945.

Lebih mengkhawatirkan lagi justru saat menceritakan peristiwa-peristiwa pembangkangan, kelompok agama yang disebut menohok pada Islam. DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) disebut secara terang-terangan tanpa penjelasan memadai konteks politik kemunculannya hingga ditemukan kewajarannya. Demikian pula PRRI yang banyak didukung oleh mantan aktivis Masyumi. Baik Kartosuwiryo maupun aktivis Masyumi yang tergabung dalam PRRI seperti M. Natsir adalah orang-orang yang ikut berdarah-darah mendirikan dan memperjuangkan Indonesia. Akan tetapi, setting kurikulum seperti yang beredar saat ini justru malah memojokkan Kartosuwiryo dan M. Natsir sebagai “penjahat” gara-gara terlibat dalam gerakan yang dianggap sebagai “pemberontakan”, tanpa dianalisis secara mendalam posisinya dalam sejarah.

Kurikulum yang dirancang seperti itu, disadari ataupun tidak, justru telah memposisikan Islam yang menjadi anutan mayoritas penduduk Indonesia sebagai trouble maker. Islam tidak pernah dilihat sebagai unsur pembangun bangsa paling penting. Padahal, baik secara budaya, sosial, ekonomi, maupun politik, sepanjang sejarah modern Indonesia, peran Islam dan umat Islam begitu besar dalam memperjuangkan, mendirikan, memepertahankan, dan membangun bangsa ini. Pada saat yang sama anasir-anasir sekular, baik dalam wujud ide dan gerakan justru dianggap sebagai pihak yang paling “benar” dan paling berhak atas Indonesia.

Dengan pola kurikulum seperti itu, justru bagi umat Islam Indonesia seolah-olah negeri antah-berantah yang harus disingkirkan selama yang bersangkutan masih menjadi Muslim yang kâffah. Menjadi Islam tidak bisa bersamaan menjadi “Indonesia” karena Islam di Indonesia adalah pengacau, pemberontak, dan bahkan teroris. Oleh sebab demikian, adalah salah negara sendiri bila bermunculan gerakan-gerakan berjejaring internasinal mengatasnamakan Islam dan tidak terlampau senang untuk sepenuhnya menjadi Indonesia. Bila zaman Muhammad Yamin, menjadi Indonesia harus ke-Hindu-Hindu-an semetara sejak Suharto hingga saat ini menjadi Indonesia yang paling baik adalah harus “sekuler”.

Persoalan krusial berikutnya, nasionalisme Indonesia yang dibangun di atas nilai sekularisme justru malah merugikan bangsa ini. Sekularisme tidak pernah memberikan nilai terdalam bagi tindakan seseorang. Ujung dari sekularisme hanyalah pragmatism kebendaan. Tidak lebih dari itu. Oleh sebab itu, tidak heran bila kemudian lahir generasi-generasi pragmatis “tanpa nilai” yang hanya peduli dengan Indonesia bila secara materi menguntungkan. Bila tidak, tanpa rasa menyesal ia akan katakana, Go to hell Indonesia! Dengan senang hati ia akan cari negara mana saja yang akan membuatnya lebih kaya.

Sekularisme juga telah membuka kotak Pandora hubungan antar-agama di Indonesia. Setelah sekularisme ditahbiskan menjadi dasar, mau tidak mau hubungan antar-agama pun harus didefiniskan mengikuti selera sekuler. Akhirnya, pluralisme yang berakar pada tradisi filsafat perenialisme yang sekuler menjadi pilihan. Berhubung perenialisme sangat berkait dengan kepercayaan dalam meletakkan posisi agama, maka tidak mengherankan bila pluralisme-sekuler mendapat tentangan keras dari berbagai tokoh agama. Representasi mayoritas pemimpin Muslim di MUI pun sampai harus turun tangan mengeluarkan fatwa haram Pluralisme, Sekularisme, dan Liberalisme pada tahun 2005.

Padahal, bila akar kebudayaan bangsa ini dikembalikan pada fakta sesungguhnya, yaitu Islam tidak perlu ada kejadian-kejadian seperti di atas. Pada gilirannya keberadaan Islam sebagai kekuatan mayoritas di negeri ini akan benar-benar konstruktif untuk membangun makna ke-Indonesiaan yang benar dan tidak harus selalu berbenturan dengan keyakinan. Dengan begitu, Islam akan tampil menjadi kekuatan raksasa yang segara akan menjadi penopang utama pembangunan bangsa ini.

Oleh sebab itu, sudah saatnya bila mendefiniskan kembali “keindonesiaan” kita dengan menyertakan di dalamnya unsur paling penting dalam sejarah modern Indonesia, yaitu Islam. Islam sebagai tata nilai dan agama yang dianut mayoritas bangsa ini, bukan sesuatu yang berlebihan untuk dibunyikan secara lebih nyaring daripada sekularisme yang sama sekali tidak memiliki akar dalam tradisi dan budaya bangsa ini. Apalagi sudah hampir menjadi kesepakatan bersama bahwa salah satu yang membuat kita sengsara adalah “kolonialisme”. Bukankah sekularisme yang datang ke negeri ini adalah anak kandung dari “kolonialisme” yang justru kita caci bersama. Mengapa induknya kita tolak, tapi turunannya kita biarkan hidup?
Wallâhu Alam.

Oleh: Tiar Anwar Bachtiar

Kamis, 16 April 2015

Sudahkah Baca Alquran Hari Ini??

بسم الله الرحمن الرحيم

RAIHLAH CAHAYA DENGAN MEMBUKA AL-QUR'AN

Assalamualaikum warrahmatullah...

Tidak terasa sudah berlalu beberapa jam dari kehidupan kita di hari ini. Sebagian sudah tenggelam dalam aktivitasnya. Ada yang sibuk dengan dunianya, ada yang sibuk dengan urusan rumah, dan yang sebagainya.

Tapi sudahkah kita membuka Kitabullah ?

Untuk sedikit membaca kalamullah, walaupun hanya satu ayat?

Al Quran adalah petunjuk. Petunjuk yang membimbingmu untuk berjalan secara benar dalam semua aktivitasmu.

Al Quran adalah Cahaya. Cahaya yang menerangi jalan dan hatimu

Al Quran adalah Penyembuh. Penyembuh dari segala penyakit yang hampir semua dari kita memilikinya

Al Quran adalah kasih sayang Allah. Apa kiranya kita tidak butuh dengan kasih sayang-Nya ?

Kalau kamu belum membuka Kitabullah, sampai saat pesan ini sampai kepadamu, maka sempatkanlah 1 atau 2 menit untuk meraih hidayah, nur, syifa dan Rahmat Ilahi.

Melalui Kalam-Nya, semoga Allah menerima amalan kita, mengampuni dosa kita, dan mempertemukan kita di surga bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aamiin yaa rabbal `alaamiin.

Wassalamualaikum warrahmatullah..

Penulis: Ustadz Dr. Syafiq Reza Basalamah, M.A, حفظه الله تعالى

Maka Nikmat Tuhan Yang Manakah Yang Engkau Dustakan, Bersyukurlah

Bersyukurlah
Kita diciptakan pasti tidak sia-sia, setiap manusia yang terlahir ke dunia adalah orang yang telah Allah pilih untuk mengemban amanah dan agar bermanfaat bagi sesama.

Bahkan seekor babi pun dapat bermanfaat untuk makhluk hidup lainnya (babi memakan kotoran, sehingga bisa dikatakan berguna untuk membersihkan lingkungan), apalagi manusia yang tercipta dengan predikat makhluk yang paling mulia diantara hewan dan tumbuhan.
Kita hidup di dunia ini atas izin Sang Maha Pencipta.

Ia mengizinkan kita dengan menciptakan mata untuk dapat melihat indahnya bumi, matahari, langit, bulan, bintang, awan dan segalanya yang ada di langit.
Dia mengizinkan kita dengan menciptakan hidung dan paru-paru untuk dapat menghirup udara dan bernapas agar kita dapat bertahan hidup sampai usia yang telah ditentukan-Nya.
Dia mengizinkan kita dengan menciptakan lidah untuk dapat menikmati lezatnya buah-buahan dan sayuran sebagai penopang hidup utama kita di dunia dan sebagai penyembuh dari berbagai macam penyakit fisik.
Dia mengizinkan kita dengan menciptakan telinga untuk dapat mendengar suara adzan yang begitu indah dan mengingatkan kita untuk selalu menyembah-Nya.
Dia mengizinkan kita untuk mempunyai kaki yang bisa kita gunakan untuk berjalan menuju jalan lurus yang diridhai Allah, dimana kita dianjurkan untuk melangkahkan kaki ini kepada hal-hal yang benar.
Dia mengizinkan kita untuk mempunyai tangan yang seharusnya bisa kita gunakan untuk hal-hal yang jauh dari keburukan.
Dia mengizinkan kita untuk mempunyai mulut yang bisa berbicara agar kita bisa mengingatkan sesama akan kesalahan setiap hamba-Nya.

Itulah beberapa diantaranya kenikmatan dan kasih sayang Allah untuk kita, masih banyak kenikmatan lain yang Allah berikan kepada kita, hingga kita tak dapat menghitung berapa banyaknya.
Saudara-saudariku, marilah sama-sama kita bersyukur.

Sesulit apa pun kita mendapatkan cobaan dari-Nya, bayangkan bahwa masih banyak orang lain yang mungkin lebih sulit daripada kita.
Ujian yang Dia berikan kepada kita mungkin tak seberapa, tapi kasih sayang Allah lebih dari dunia dan seisinya.

Tresna YR

Senin, 13 April 2015

Asa Sang Ibu

Asa Sang Ibu
Oleh: Karunia Nurma

Pekat nan jauh dipandang
Hanya angan tinggi menjulang tanpa nyata
Orang-orang dalam pandangannya tak jauh dari kemewahan sedang ia?
Siapalah ia, selain hanya seorang pemimpi.

Kini ia berputus asa,
Asanya perlahan mulai berguguran.
Renta tubuhnya, rapuh hatinya tak mampu kuatkan kembali.
Dengan jalan hidup sukar yang diperolehnya,
Hanya wajah keriput penuh luka yang tergambar.
Ia lelah, sang wanita begitu lelah.

Ia tak ubahnya seprti Ibu yang tak punyai anak.
Siapalah mereka anak-anaknya?
Jika yang mereka perbuat hanya menyayat hati?
Siapalah mereka yang tak ubahnya hanya raga yang tak punyai jiwa?

Dan kini, asanya terukir dalam tetesan air suci dari bola mata indahnya.

Minggu, 12 April 2015

Taklukanlah Dirimu Sendiri

Lulus sekolah bukanlah akhir dari perjalanan hidupmu, tapi justru itulah awal kehidupanmu"

Kata itu adalah kata-kata yang pernah kudengar beberapa tahun lalu ketika air mata menetes dalam perpisahan, yang pada saat itu aku belum mengerti maksudnya. Yang kutahu hanya kesedihan harus meninggalkan masa indah kala itu. Dan kini aku mengerti, air mata itu ternyata bukanlah sekedar air mata sedih tetapi juga air mata takut. Ya, ketakutan akan masa depan memang selalu hadir dalam benak setiap orang meski tak sedikit juga motivator yang selalu mengkampanyekan untuk "Hiduplah pada hari ini" tapi rasa takut itu tetap ada dalam naluri alamiah seorang manusia. Masa depan selalu menjadi misteri, pertanyaan "Bagaimana hidupku kelak?", "Apa yang harus aku lakukan nanti?" dan bla bla bla... masih banyak pertanyaan pada yang orang sebut misteri itu.

Saat ini ku bilang, "Ini hidup yang begitu kejam" tapi iman selalu mengatakan, "Ini yang terbaik yang Tuhan tuliskan untukmu"
Saat ini kubilang, " Kenapa ini terjadi pada hidupku?" tapi iman mengatakan "Karena Tuhan sayang padamu." (meski ku tak tahu maksudnya)
Saat ini kubilang, "Sungguh tak kuat kujalani ini, ini berat bagiku" dan iman kembali tenangkan dengan katanya, "Tuhanmu tak akan memberimu ujian kecuali sesuai kesanggupanmu, ingat Tuhanmu lebih tahu akan hidupmu." Dan ketika kubertanya kembali, "Apakah aku sanggup jalani ini?" dan iman selalu lebih bijak menyikapi masalah, ia justru berbalik tanya, "Tak percayakah kau pada Tuhanmu sendiri?", pada saat itu pula aku tersungkur memohon ampun.

Sungguh benar, keimananlah yang akan membuat seseorang lebih kuat dari yang ia kira. Tapi ya beginilah aku dengan iman yang belum seberapa. Walau bagaimanapun kembali lagi pada arti dan makna dari kata `iman` itu sendiri, "Percaya dan Yakin pada Allah". Sudah, itu akan menimbulkan husnudzon yang dapat mengantarkan pada ketenangan dan ketegaran yang luar biasa. "Kau mampu lebih dari yang kau kira, Tuhanmu lebih mengetahui yang terbaik untukmu."

Baik, masalah yang datang setelah kelulusan itu bukan lah lagi masalah `cinta` ataupun masalah `kekangan orang tua` bukan masalah-masalah anak ABG seperti sebelumnya. Tetapi lebih dari itu, masalah itu adalah menghadapi diri sendiri. Iya, masalah terbesar adalah bagaimana kita mampu menekan egois kita, bagaimana kita mampu mengontrol emosi kita yang saat ini masih sangat labil, bagaimana kita memilih jalan yang baik (bukan lagi hanya mampu menilai) tetapi harus sudah bisa memutuskan untuk memilih jalan yang baik dan menjalaninya dengan penuh keikhlasan dan semangat. Adalah bagaimana untuk terus bersabar saat emosi begitu membuncah, disaat semua orang yang datang adalah mereka yang didatangkan untuk menguji kesabaran kita. Adalah bagaimana kita mampu bersikap bijak pada masalah yang datang dan bagaimana kita mampu mengesampingkan egois kita.

Kita adalah manusia, yang pada dasarnya penuh khilaf dan kealfaan tetapi hidup ini adalah proses. Proses pembentukan jiwa kita, penbentukan mental kita, kita adalah muslim. Seorang muslim harus kuat, karena ia adalah khalifah di bumi. Seorang khalifah haruslah bijak dalam menyikapi masalah. Dan masalah dapat teratasi dengan keimanan seorang muslim, pada keyakinannya akan kuasa Tuhan. Kita adalah muslim yang seharusnya memerangi kebathilan, tugas yang berat.

Berat, karena yang harus dihadapi adalah nafsu dalam diri sendiri. Seperti kata Allah dalam kitabNya bahwa ia jadikan kebathilan itu indah, ia jadikan kebathilan itu hal yang sifatnya menyenangkan. Oleh karenanya, sungguh ini berat bagi kita untuk melawan nafsu kita sendiri. Kita adalah manusia yang hanya menyukai kesenangan tapi disamping itu, kita adalah seorang muslim yang menanti kesenangan yang abadi, yang mengharapkan ridha sang illahi. Kita adalah seorang muslim, yang dijanjikan Allah adalah kesenangan abadi di kehidupan setelah hidup kita di dunia ini, maka bersabarlah.

Saat ini tugas kita adalah melawan diri sendiri, dan bersabar menanti janjiNya. Harapan kita, ridho sang illahi. Tujuan kita Al Jannah tempat kediaman mulia penuh kedamaian. Maka bersabarlah wahai kaum muslimin, kata Allah orang sabar akan beruntung "Man shobaru Zafira".

Dan ku tak kan mampu melawan diri sendiri melainkan karena pertolonganNya, Bismillah dan Lillah.

#KN

Jumat, 10 April 2015

Filosofi Adzan dengan Kemenangan Islam

Filosofi Adzan dengan Kemenangan Islam

Bismillaahirrahmanirrahiim ..

Dalam adzan, lafadz "Allaahu akbar" sampai syahadat, Nabi kita menjawab lafadz yang sama dengan apa yang dilafadzkan muadzin karena kita sama-sama mengikrarkan tiada ilah selain Allaah dan Muhammad adalah utusan-Nya. Dan itulah bentuk iman kita.

Namun ketika lafadz, "Hayya 'alash sholaah dan hayya 'alal Falah" kita menjawab "laa haula walaa quwwata illaa billaah".
Artinya sholat dan kemenangan tidak akan terjadi terhadap kita melainkan atas taufik dan hidayah serta pertolongan dari Allaah.

Namun yang menarik di sini adalah dalam adzan "hayya 'alal falaah" (mari kita menuju kemenangan). Kemenangan yang dimaksud adalah kemenangan Islam atas musuhnya yaitu kekufuran dan kemusyrikan.

Namun untuk menuju kemenangan tersebut, apa yang harus kita lakukan?

Tentunya sebelum kemenangan itu terjadi, kita harus mendirikan sholat sebagaimana lafadz dalam adzan. Sebelum kemenangan ada seruan untuk mendirikan sholat. Sebagai contoh, jika ingin rizki sholat dhuha, jika ada keinginan sholat hajat, dan sebagainya. Tentunya sholat yang baik adalah sholat yang khusyu' dan kekhusyu'an merupakan upaya kita untuk berkonsentrasi terhadap sholat tersendiri dan khusyu', sedangkan khusyu' merupakan karunia dari Allaah, maka kita memohon atas itu.

Sebelum sholat apa lagi?
"Was ta'iinuu bish shobri wash sholaah," jadikan sholat dan "shobar" sebagai penolongmu.
Ternyata sebelum sholat untuk mencapai kemenangan Islam adalah dengan jalan "shobar". "Shobar" dalam artian, menahan diri dari ketidakta'atan kepada Allaah, dan bertahan dalam keta'atan Allaah swt.

Sebelum "shobar", apa lagi?
"Watawaa shoubil haqqi watawaa shoubish shobri", dan menasihati dalam perkara kebenaran dan kesabaran.
Ternyata sebelum "shobar" kita harus benar dalam menjalankan segala sesuatu dalam aspek kehidupan kita. Baik dari bangun tidur sampai tidur lagi, baik sendiri atau jama'ah, baik dakwah atau belajar, dan sebagainya.

Ikhwah fillaah, tentunya untuk melakukan suatu kebenaran kita harus 'MEMBACA' pedoman dari suatu perbuatan tersebut. Apakah itu kuliah, pidato, dakwah, sholat, zakat dan ibadah lainnya. Kita harus membaca pedomannya agar kita menjalaninya dengan terarah dan tersistematis dengan baik.

Oleh karenanya, wahyu yang pertama yang diturunkan Allaah lewat Malaikat Jibril kepada Rasulullaah saw adalah Al 'alaq ayat 1-5, yaitu ayat pertama yg terkenal "iqro bismirobbikalladzii kholaq," bacalah dengan menyebut nama Robmu yang telah menciptakanmu.
Ya 'Bacalah' yaitu perintah untuk membaca.

Jadi bisa kita ambil kesimpulan untuk mencapai kemenangan Islam dapat kita simpulkan dengan rumus.

Membaca-Benar-Shobar-Sholat-Falah (kemenangan)

Jika ini adalah ajaran Islam maka Islam sama dengan sebuah sistem, tidak bisa kita meninggalkan salah satu poin saja atau beberapa poin dalam memperoleh kemenangan Islam. Kita harus semampu kita untuk melaksanakan dari poin di atas.

Mulai sekarang mari kita menjadi mujahid dan mujahadah dakwah, yang gemar membaca, benar dalam aspek kehidupannya, "shobar" dalam menjalani keta'atan terhadap Allah swt, selalu mendirikan sholat wajib dan ataupun sunnahnya, agar kita mendapatkan kemenangan Islam yang kita cita-citakan.

Semoga manfaat @**

Al faqir, ad dhoif
Uj. Sadili