Jumat, 20 Maret 2015

“HIJABKU-TAATKU-HIDUPKU-GAYAKU, In Syaa Allah”


“HIJABKU-TAATKU-HIDUPKU-GAYAKU, In Syaa Allah”
Oleh: Indiyani Lahmi
Aku lahir dan besar dilingkungan masyarakat muslim, keluargaku, sanak saudara, tetangga, bahkan semua yang kukenal diwaktu kecil beragama islam. Aku hanya tahu bahwa ada agama selain islam dari pelajaran di sekolah. Ya memang aku tinggal dikalangan umat muslim, tetapi disana tidak seorang pun muslimah yang mengenakan jilbab. Meskipun mereka sangat taat menjalankan kewajiban sebagai hamba-Nya juga sunnah sebagai umatnya. Termasuk keluargaku, jika dibilang taat, ya taat. Ets, kecuali yang satu ini, pakaian syar’i alias hijab bagi kaum hawa.
Aku sama sekali tidak dikenalkan dengan yang namanya hijab, alhasil sedikit pun tak ada keinginan untuk mengenakannya. (Aku mengenal hijab dari kakakku “Deta Maya Shofa/Deya Nur Latifah” yang bersekolah dipondok pesantren).

Oktober 2008,
Keluargaku pindah ke kota Krui, kota kecil di pesisir pantai kabupaten Lampung Barat (dulu) Pesisir Barat (sekarang), dikarenakan Bak (Ayah-Lampung) pindah tugas. Saat itu aku baru masuk SMP, ± 2-3 bulan di SMPN 2 Pesisir Utara dan harus pindah ke SMPN 2 Pesisir Tengah. Di tempat yang baru, lingkungan baru, serta sekolah yang baru, aku baru menyadari ternyata di sini tidak sedikit yang mengenakan hijab. Mulai dari anak kecil sampai lanjut usia, teman-teman di sekolah pun banyak yang mengenakannya, yang selama ini aku mengira hijab hanya dipakai oleh mereka yang sekolah di pondok pesantren (pikiran dusun). Aku masuk pengembangan diri rohis disekolah, saat itulah aku mulai mengenal hijab dan tidak sedikit yang menyarankanku untuk mengenakannya. Tapi, meskipun demikian, dalam diri masih belum ada keinginan untuk mengenakannya.
Tahun 2012,
Aku yang berstatus sebagai siswa SMA, di sekolah favorit di kota Krui SMAN 1 Pesisir Tengah. Saat kenaikan kelas XI ditahun itu, pemerintah daerah Kabupaten Lampung Barat menetapkan Perda baru, salah satunya mewajibkan semua muslimah yang bekerja di instansi pemerintahan termasuk anak sekolah wajib mengenakan hijab. Alhasil dengan terpaksa aku harus mengenakannya. -___-
Ceritanya,
Saat itu usai liburan semester, aku baru pulang dari liburan tepat dihari minggu dimana besoknya (Senin) mulai masuk sekolah hari pertama disemester tiga (kelas XI), aku baru tahu bahwasanya ada peraturan baru itu. Alhasil setibanya di rumah sekitar jam 8 pagi, tanpa beres-beres mandi dan sebagainya, aku langsung pergi ke pasar untuk menyambung seragam sekolah (lengan pendek jadi panjang) dan membeli hijab (yang dibeli hanya 3 hijab, itu pun menyesuaikan seragam sekolah).

Senin pagi, hari pertama,
Pagi itu menjadi pagi yang sangat panjang, kacau, dan sebagainya. Aku yang sama sekali tidak bisa mengenakan hijab, mencoba memakainya sendiri. Dari subuh hingga jam tujuh, tetap belum selesai akhirnya kakakku membantu memasangkannya dengan gaya hijab yang aku tidak suka, terpaksa kubongkar dan aku kenakan sendiri. Hahaa ribet binti runyem. Aku benar-benar ingat gaya hijab alay yang kukenakan kala itu wuahaaaaa (malu). Seiring waktu berlalu, aku yang sudah mengenakan hijab seadanya (jauh dari kata syar’i) dan itu hanya berlaku disekolah. Sama sekali belum ada niatan mengenakannya di rumah. Keinginan untuk mengenakannya sempat muncul tetapi seakan tak ada respon hanya terlintas dipikiran saja.
Aku memang dekat dengan orang-orang yang begitu dekat dengan-Nya dan beberapa mengenakan hijab syar’i. Aku merasa nyaman ketika bersama mereka. Aku memang tidak mengenakan hijab yang sebenarnya hanya mematuhi peraturan yang berlaku, tetapi aku dikenalkan dengan norma-norma agamaku. Banyak yang bilang aku baik, aku paham agama, tetapi sebenarnya aku belumlah memahaminya bahkan jauh dari predikat soleha yang mereka sematkan.
Aku yang kala itu membenarkan argumen ini, “hijab-pi hati dulu baru luarnya”, “buat apa pake jilbab kalo kelakuan masih gak benar”. Hahaa perkataan macam apa itu? Justru, hijab itu jalan utama menuju taat! Lagian hijab kan kewajiban setiap muslimah (baru sadar hehee).
Back to story,
Iya benar, kala itu hatiku pun masih merasa sangat jauh dari mengingat-Nya (istighfar), tetapi aku pun bersyukur karena masih ada kebaikan dihati ini. Aku masih menjaga sikapku masih menyukai kebaikan, bahkan sampai dipanggil mba ustadzah oleh murid-murid TPA tempatku mengaj. Meskipun tidak jarang aku meninggalkan kewajiban sebagai hamba-Nya, terutama sholat dan itu dengan sengaja. Astaghfirullah, aku malu.

Naik kelas XII,
Aku mulai mencoba mengenakan hijab syar’i (double/tebal/panjang) terkadang dan hanya disekolah. Meskipun demikian, aku mulai merasakan nyaman ketika mengenakannya, Yah sangat terasa! Awalnya sih nggak, soalnya ribet dan panasnya itu loh, hehee. Waktu berlalu dan aku sudah menginjak semester 6, mulailah ada keinginan mengenakannya di rumah, itu pun terkadang tidak benar-benar berlaku (Syetan masih terus berbisik dan aku pun belum mampu menolak).
Tak bisa dipungkiri, aku memang harus banyak-banyak bersyukur. Lahir dari keluarga muslim, sejak kecil di tanamkan nilai-nilai Islam dengan segala kebaikannya. Usia balita sudah di ajarkan berpuasa, bahkan kelas 1 SD aku sudah berpuasa penuh di bulan Ramadhan (1 bulan penuh bro, gada yang bolong-bolong hehee). Mungkin karena iming-iming hadiah yang diberikan orang tuaku jadi salah satu sebabnya, wkwkwk. Untuk predikat membaca Al-Quran, aku pun di ajarkan sejak balita, nah menginjak kelas 1 SD pelajaran baca Al-Quranku pun naik kelas, masuk Al-Quran (bukan iqra’ atau juz amma lagi bro hehee) bahkan aku sudah fasih membacanya. Alhamdulillah, dan tidak kalah penting, sholat. Iya aku ingat kala itu aku masih kelas 2 SD, aku lupa tepatnya hari apa, jam berapa, tanggal berapa, bulan apa hehee. Waktu itu aku tidur siang dan kelepasan hingga maghrib, iya adzan maghrib aku baru bangun. Kalian tahu apa yang terjadi? Ya nggaklah kan belum dikasih tahu, wkwk.
Aku bangun dari tempat tidur, dan menanyakan kepada emak, “emak lampunya udah nyala, emang jam berapa?
(maklum listrik ditempatku cuma menyala dimalam hari dan itu pun hanya sampai jam 11 malam hehee). Emak jawab sudah maghrib. Jreeeng, aku menangis sejadi-jadinya.
Udah maghrib kok aku nggak dibangunin, aku kan belum ashar huaaaaa, hehee agak lebay. Tapi coba bayangkan, di usiaku yang masih 7 tahun-an aku sudah menangis karena meninggalkan sholat. Aku takut Allah membenci ku, aku takut tidak masuk syurga, aku takut api neraka. Subhanallah, padahal saat itu aku belum lah baligh, bahkan dosa pun belum dicatat dan pahala yang dilakukan seorang yang belum baligh bukanlah untuk dirinya melainkan orang tua nya. Ets, jangan lupa aku pun harus bersedih kenapa saat itu aku tidak mengenal hijab, padahal itu salah satu kewajiban yang harus ku tunaikan. 
Okay, back to story of hijab hehee
Usai Ujian Nasional berlangsung, selang satu minggu aku berangkat ke Bandar Lampung bersama kedua temanku. Kami bermaksud mengikuti bimbel guna menyongsong persiapan SBMPTN sebagai persiapan jikalau tidak lulus SNMPTN. Disana, aku mengenal teman-teman baru dan tutor-tutor yang begitu dekat dengan-Nya, mereka berpakaian syar’i mengenakan hijab syar’i (Sempurna, muslimah sejati). Dari sinilah awal hati ini benar-benar tersentuh akan keindahan, kesejukan, dan kenyamanan dibalik hijab. Mulailah ada rasa untuk benar-benar mengenakan hijab tanpa melepasnya lagi.
Dimulai dari mencoba, kenyamanan itu akhirnya benar-benar terasa. Waktu berlalu, ku mulai mencoba mengenakan hijab double, sedikit demi sedikit pakaian yang ku kenakan semakin kulonggarkan. Tak ada lagi pakaian ketat atau pun celana jeans, aku mulai mengenakan rok, dan apa yang kurasakan? Iya rasanya nyaman. Selang satu bulan pulang ke krui, aku benar tidak melepasnya lagi. Balik lagi karena bimbel belum usai, mulailah ada keinginan mengenakan kaos kaki, dengan meminta pendapat teman-teman yang sudah mengenakannya. Lagi-lagi hati ini tersentuh akan saran yang diberikan padaku, dan kuputuskan untuk benar mengenakan kaos kaki. Seiring berjalannya waktu, hijab double tebal tidak lagi lepas, kaos kaki pun tetap ditempat seharusnya, celana yang berganti menjadi rok pun demikian, juga baju longgar yang kukenakan, hingga sampai saat ini hijabku semakin mengulur dan semakin memanjang.
Di balik hasrat diri berhijrah untuk lebih mendekatkan diri dengan-Nya, tidak sedikit cobaan yang bertubi-tubi menghampiri. Mulai dari godaan untuk melepasnya, cemoohan bahkan gunjingan, sampai-sampai muncul keraguan akan kebesaran-Nya karena musibah yang bermunculan, hingga timbul pikiran Allah tidak adil, Asstaghfirullah, tetapi aku patut bersyukur, Allah masih memberiku setetes iman. Hal itu tidak membuatku mengingkari keinginan hati yang begitu baik meskipun memang terkadang merasa upaya seakan tak berguna. Asstaghfirullah
Lagi-lagi aku harus bersyukur, memiliki orang tua yang mendukung penuh keinginanku untuk hijrah. Meski awalnya mereka merasa takut jikalau anaknya terpengaruh aliran-aliran yang mengatasnamakan islam (hehee maklum orang tua sangat mencintai anaknya). Dan kini, aku masuk kuliah dan mengenal mereka yang begitu dekat dengan-Nya. Kebaikan itu semakin terasa juga berpengaruh dengan hijab yang kukenakan semakin mengulur hingga kepinggang sampai detik ini. Yaa Allah bimbinglah hamba agar bisa istiqomah dijalan-Mu. Aamiin.”
Yuk, buat teman-teman yang belum berhijab, mari mulai sekarang kenakan hijabmu. Yang udah berhijab tapi belum syar’i alias masih ada unsur-unsur selain karena-Nya, yuk perlahan hijrah menjadi syar’i. Nah yang udah syar’i semoga tetap istiqomah (ngomong buat diri sendiri juga hehee). In Syaa Allah ini adalah jalan agar kita menjadi lebih taat. Gak percaya? Aku buktinya, hehee (bukan pamer loh -_-) tapi beneran deh, itu argumen yang aku sebutin di atas gak benar. Itu semua buatan mereka yang ingin menghancurkan mu wahai muslimah.

Ingat!!!
Hijab itu Kewajiban Setiap Muslimah!
So muslimah, tanpa harus mengumbar kecantikkanmu, kau tetap perhiasan dunia. ^_^
Follow akun twitter aku yaa
@IndriyaniLahmi

Editor: Karunia Nurma

0 komentar:

Posting Komentar